Jenis tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan ini adalah Pala (Difterocarpus trinervis) dengan kerapan yang tinggi. Selain dari jenis tersebut, masih ada 54 jenis lainnya antara lain : Amplas (Tetracera scadens), Pule (Alstonia scholaris), Buni (Antidesma bunius), Cempaka kuning (Michelia camphaka), Kepohpoh (Buchanania arborescens) dan lain sebagainya.
Jenis satwa yang paling dominan dan menjadi ciri khas kawasan ini adalah kera abu-abu (Macaca faciculari). Satwa lain berdasarkan inventarisasi tahun 1993 sebanyak 22 jenis antara lain : Alap-alap (Elanus hypoleucu), Elang (Halioaster indus), Burung Hantu (Typte alba javanica), Terocok (Gouvier ahalis), Musang (Paradorurus hermaproditus), Kucing hutan (elis bengalensis), Sendanglawe (Ciconia episcepus) dan lain sebagainya.
Obyek Wisata Sangeh sudah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Setiap hari libur atau hari raya, Sangeh selalu dipadati ribuan wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Hutan Sangeh atau sering pula disebut dengan Hutan Pala dikenal karena hutan ini penghuninya sebagian besar adalah kera. Di dalam hutan diperkirakan hidup sekitar 600 ekor kera berbulu abu-abu berekor panjang.
Berdasarkan mitologi, nama Sangeh terdiri atas dua kata, yakni “Sang” yang berarti “Orang” dan “Ngeh” yang berarti “Melihat“. Sehingga Sangeh dapat diartikan sebagai orang yang melihat. Hal ini didasari oleh karena konon kayu-kayu (Hutan Pala) dalam perjalanan dari Gunung Agung (Bali Timur) menuju salah satu tempat di Bali Barat, sebelum sampai di tempat tujuan ada yang melihat, sehingga pohon-pohon tersebut berhenti di suatu tempat, yang sampai sekarang disebut dengan Sangeh.
Hutan Pala Sangeh dihuni kera abu ekor panjang (Macaca fascicularis) jumlahnya sekitar 600 ekor dan menurut keyakinan masyarakat setempat kera-kera ini adalah penjelmaan Prajurit Putri yang dikutuk menjadi kera dan tinggal di Hutan Pala Sangeh. Oleh karena itu sebabnya masyarakat sekitar tidak berani mengganggu keberadaan mereka.

kera
Dalam kehidupan sehari-hari kera Sangeh ini mirip manusia. Mereka di sini terbagi menjadi tiga kelompok atau banjar, yakni Banjar Timur, Banjar Tengah dan Banjar Barat. Ketiganya memiliki pemimpinnya masing-masing. Dan untuk bisa menjadi pemimpin biasanya mereka berkompetisi, siapa yang kuat dialah yang ditunjuk menjadi pemimpin. Setelah itu, mereka akan berebut tempat. Bagi yang terkuat akan menguasai wilayah tengah, karena wilayah inilah yang paling subur, sedangkan yang kalah cukup tinggal di wilayah Timur dan Barat.
Obyek Taman Wisata Sangeh dirintis sejak 1 Januari 1969, dan mulai berkembang sejak tahun 1971. Seiring dengan perjalanan waktu, Obyek Wisata Sangeh terus mengalami perkembangan. Pelan-pelan obyek wisata ini ditata oleh masyarakat setempat dengan menggunakan dana yang berasal dari sumbangan sukarela atau dana punia yang diberikan setiap pengunjung yang masuk ke obyek wisata ini.
Memasuki 1 Januari 1996 setiap pengunjung dikenakan retribusi berdasarkan Perda Tk. II Badung No. 20 Tahun 1995. Dalam teknis pengelolaan obyek wisata Sangeh sepenuhnya merupakan hak pengelola dalam hal ini Desa Pekraman Sangeh.
Keberadaan kera-kera ini erat kaitannya secara niskala dengan keberadaan Pura Bukit Sari yang ada di dalam Hutan Sangeh.
Pura Bukit Sari (Tempat Berstananya Para Dewa)
Obyek wisata Sangeh tidak hanya terkenal dengan keberadaan keranya yang jinak, namun juga karena adanya 10 ha hutan homogen yang dikenal dengan Hutan Pala (Dipterocarpus trinervis). Pohon pala ini bijinya tidak bisa dimakan. Juga adanya Pura Bukit Sari yang merupakan peninggalan abad XXVII pada waktu kejayaan Kerajaan Mengwi.

pura bukit sari
Pura ini dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat Raja Mengwi Cokorda Sakti Blambangan. Ketika Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti melakukan “Tapa Rare” (bertapa sebagaimana layaknya bayi/anak-anak). Beliau mendapatkan pawisik (ilham) agar membuat pelinggih (pura) di Hutan Pala Sangeh, dan sejak itulah Pura Bukit Sari dibangun. Pura ini posisinya di tengah-tengah Hutan Pala.
Obyek wisata ini disakralkan masyarakat Sangeh karena itu bagi mereka yang datang bulan atau yang ada kecuntakan (keluarganya ada yang meninggal) diharapkan tidak memasuki kawasan suci (Pura).
Pohon Lanang Wadon
Keunikan lain yang ditawarkan oleh Obyek Wisata Sangeh adalah pohon di kawasan hutan Sangeh ini. Pohon-pohon yang ada di kawasan hutan pala ini ukurannya sangat besar dan lurus-lurus. Rata-rata usia pohon ini adalah ratusan tahun dan hampir semua pohon dalam keadaan terawat baik.

lanang wadon
Pohon-pohon pala tersebut selain untuk menjaga lingkungan Hutan Sangeh, juga menjaga habitat kera yang ada. Di dalam hutan ini terdapat ratusan pohon pala dan dari ratusan pohon pala tersebut terdapat satu pohon pala yang sangat unik. Karena uniknya pohon pala tersebut, Masyarakat Desa Sangeh mempercayai pohon pala tersebut memiliki kekuatan magis dan ada penghuninya. Karena itu dari dulu sampai sekarang di pohon pala tersebut dihaturkan sesaji oleh umat Hindu setempat.
Pohon pala ini jika dilihat secara seksama sangat mirip dengan dua kaki yang mengangkang. Kemudian dilihat di atas paha ada sebuah lekukan yang mirip puser dan jika diamati di bawah puser ada bentuk mirip alat kelamin wanita (vagina). Kemudian di belahan kaki atau selangkangan ada sebatang kayu pendek (kemungkinan cabang pohon) menggelantung. Batang ini mirip alat kelamin laki-laki atau penis.
Karena pohon ini memiliki dua ‘kelamin’ laki dan perempuan, pohon itu dinamakan pohon lanang wadon (lanang = laki-laki dan wadon = perempuan). Jika dikaitkan dengan filosofi Hindu, lanang wadon bisa juga disebut dengan lingga yoni atau purusa pradana atau laki perempuan. Kedua unsur ini selalu ada. Dalam filosofi Hindu bisa disebut sebagai rwa bhineda (dua yang berbeda), dua konsep ini tidak bisa dihapuskan di dunia. Masyarakat Bali, khususnya penganut Hindu percaya bahwa kekuatan lingga yoni itu tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Rwa Bhineda selalu ada di dalam kehidupan ini dan dari unsur positif – negatif atau purusa predana ini melahirkan manusia.